Monday, October 16, 2017

FENOMENA BETAWI DI KOTA TANGERANG SELATAN



Oleh : Izhar Syafawy
            Betawi merupakan sebuah tradisi kekayaan masyarakat Indonesia yang bertempat tinggal di daerah Jakarta dan sekitarnya yang merupakan sebuah hasil dari akulturasi bangsa cina, arab dan belanda. Masyarakat Betawi tidak hanya sebuah lahir dari kota Jakarta akan tetapi sekitaran pinggiran kota Jakarta seperti, Depok, Kota Tangerang Selatan, Kota Tangerang, Bekasi, Cikarang masih mempunyai jiwa luhur menjadi orang Betawi karena faktor jarak ke Jakarta tidak terlalu jauh dan menjadikan kontak sosial yang dapat diterima dan menjadi sebuah kebiasaan.
Pada tahun 1930, kategori orang Betawi yang sebelumnya tidak pernah ada justru muncul sebagai kategori baru dalam data sensus tahun tersebut. Jumlah orang Betawi sebanyak 778.953 jiwa dan menjadi mayoritas penduduk Batavia waktu itu. Antropolog Universitas Indonesia, Prof. Dr.  Parsudi Suparlan menyatakan, kesadaran sebagai orang Betawi pada awal pembentukan kelompok etnis itu juga belum mengakar. Dalam pergaulan sehari-hari, mereka lebih sering menyebut diri berdasarkan lokalitas tempat tinggal mereka, seperti orang Kemayoran, orang Senen, atau orang Rawabelong.
Pengakuan terhadap adanya orang Betawi sebagai sebuah kelompok etnis dan sebagai satuan sosial dan politik dalam lingkup yang lebih luas, yakni Hindia Belanda, baru muncul pada tahun 1923, saat Husni Thamrin, tokoh masyarakat Betawi mendirikan Perkoempoelan Kaoem Betawi. Baru pada waktu itu pula segenap orang Betawi sadar mereka merupakan sebuah golongan, yakni golongan orang Betawi.
            Pelestarian kebudayaan adalah sebagai bentuk pertahanan masyarakat terhadap menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Hak kekayaan yang harus menjadi fokus bersama antara pihak pemeritahan pusat dan daerah, TNI, POLRI dan masyarakat untuk senantiasa merawat tradisi budaya dengan melakukan sebuah inovasi baru yang terus merespon zaman saat ini dengan tidak meninggalkan nilai luhur budaya bangsa.
Betawi di Tangerang Selatan

Kota Tangerang Selatan yang berkembang menjadi wilayah tujuan baik sebagai tujuan tempat tinggal maupun sebagai tujuan tempat usaha bagi penduduk daerah lainnya di Indonesia, saat ini memiliki jumlah penduduk sekitar 1.4 juta jiwa. Perkembangan Kota Tangsel sebagai daerah tujuan dibuktikan dengan banyaknya perumahan baik skala kecil, besar, dan menengah. Hampir dipastikan pada setiap tahunnya di saat lebaran, perumahan dan jalan-jalan di Kota Tangsel relatif lengang karena sebagian besar penghuninya mudik untuk berhari raya di kampung halamannya masing-masing
Betawi merupakan salah satu etnis yang menghuni wilayah Kota Tangerang Selatan. Keberadaan etnis Betawi menjadi etnis utama yang memiliki sejarah panjang di Kota yang baru memasuki usia 9 tahun ini. Namun, perlu dipahami bahwa etnis Betawi di Tangerang Selatan (Tangsel) secara kultural memiliki perbedaan dengan etnis Betawi yang kita kenal selama ini. Orang Betawi di Tangsel mengidentifikasi dirinya dengan sebutan ‘betawi ora’ yang berarti Betawi Pinggiran sebagai upaya untuk membedakan kulturnya dengan etnis Betawi pada umumnya yang eksis di wilayah Jakarta.
Betawi Ora, merupakan kelompok orang Betawi yang tinggal jauh diluar wilayah Ommelanden Batavia dulu. Hal ini juga berdasarakan, latar historis wilayah Tangerang yang dulu merupakan batas wilayah antara kesultanan Banten dengan VOC (Batavia). Bahkan kata, Tangerang sendiri memiliki arti “tanda” dalam bahasa Sunda, yang secara harfiah bermakna tanda batas antara dua pemerintahan tersebut. Dengan posisinya itu, orang Batawi Ora ialah mereka yang terpinggirkan baik secara geografis maupun kebudayaan.
Masyarakat Betawi yang berada di pinggiran Jakarta memiliki cara unik untuk terus meneruskan nilai kebetawian di kehidupan keseharian mereka dengan saling menghargai dan menjaga kerukukan. Efektivitas dan produktifitas masyarakat Betawi pinggiran tidak membuatkan mereka untuk meninggalkan warisan nenek moyang.
Ada beberapa hal yang positif dari Betawi antara lain jiwa sosial mereka sangat tinggi, walaupun kadang-kadang dalam beberapa hal terlalu berlebih dan cenderung tendensius. Orang Betawi juga sangat menjaga nilai-nilai agama yang tercermin dari ajaran orangtua (terutama yang beragama Islam), kepada anak-anaknya. Masyarakat Betawi sangat menghargai pluralism, Hal ini terlihat dengan hubungan yang baik antara masyarakat Betawi dan pendatang
Bukti Nyata Tangsel untuk Betawi
Memasuki wilayah Tangerang selatan seperti memasuki perkampungan Betawi nyata bukan dalam bentuk replika. Unsur kebetawian melekat di Tangsel seperti rumah blandongan yang menjadi rumah khas masyarakat Betawi dijadikan sebagai logo Kota Tangsel. Perlu kita pahami bahwa logo adalah bentuk simbolisasi setiap intansi untuk memberikan nuansa filosofis dari hasil setiap logo.
Tangsel menjadi kota penyangga Jakarta, khususnya sebagai daerah pemukiman. Kini eksistensi blandongan semakin menyusut, bahkan hampir punah. Maka dari itu nilai dari blandongan yang menjadikan ciri khas rumah orang Betawi ditumbulkan, diperkenalkan kembali dan di pertahakan oleh Tangsel melalui dari adanya blandongan di logo Tangsel.
Tidak hanya dari logo, Tangselpun sangat konsen membuat infrastruktur dengan bernuansa kebetawian seperti disetiap kantor pemerintahan kota sampai kekantor kecamatan dan kelurahan. Hal ini memberikan kesan yang mendalam ketika datang ke Tangsel mindest yang melekat pertama kali adalah nuasa Betawi. Bahkan nuansa Betawi juga tidak lepas dari gapura – gapura disetiap gang yang ada dengan memasukan gaya unsur belandongan. Masih banyak kemajuan budaya Betawi di Tangsel terutama dari segi Sumber Daya Manusia (SDA). 
Dalam hal ini Tangsel sangat konsen dalam perkembangan, pelestarian, pengawasan terhadap budaya Betawi di wilayah Tangsel. Berbagai macam festival kebetawian sampai acara Lebaran Betawi Tangsel itu pun menjadikan sebuah ajang meet up tentang kebetawian yang mungkin sudah mulai luntur dan merefresh kembali nilai-nilai kebetawian.
Pendidikan adalah upaya mengembangkan potensi-potensi manusiawi peserta didik baik potensi fisik potensi cipta, rasa, maupun karsanya, agar potensi itu menjadi nyata dan dapat berfungsi dalam perjalanan hidupnya. Dasar pendidikan adalah cita-cita kemanusiaan universal. Pendidikan bertujuan menyiapkan pribadi dalam keseimbangan, kesatuan. organis, harmonis, dinamis. guna mencapai tujuan hidup kemanusiaan. Maka dari itu sanggar pelatihan kesenian Betawi pun banyak bertebaran di Tangsel, hal ini menunjukan sebagai Pendidikan pada usia sekolah dengan mengembangkan segi motorik anak dalam belajar budaya Betawi seperti silat, lenong, dll.
Kuliner masakan Betawi pun menjadi sorotan yang sangat penting karena banyaknya rumah makan masakan Betawi di pinggir jalan yang sangat mudah bisa kita dapatkan di daerah Tangsel. Dengan membuka usaha apapun yang keterkaitan dengan budaya Betawi dapat menguntungkan beberapa faktor.
Keseriusan Tangsel pun dalam terus membuat eksistensi budaya aslinya tetap dijalankan dengan membuat sebuah perubahan dan inovasi terbaru dalam hal ini disaat perubahan julukan duta untuk Tangsel dari “Kang Nong” menjadi “Abang Nona” oleh karena itu sang duta harus bertanggung jawab dalam memahami filosofis dari Tangsel itu apa? Sebagai apa? Dan Bagaimana?, serta mempertahankan nilai kebetawian. Maka dari itu muncullah sebuah keserasian mindset dalam hal memahami hakikat dari kota Tangsel itu.
            Hasil usaha Tangsel dalam konsen mengembangkan budaya aslinya perlu patut di apresiasi oleh masyarakat dan pemerintah. Budaya lah yang menjadikan kita sebuah makhluk bersosial yang menimbulkan sebuah aturan dan kaidah-kaidah, dengan memahami hakikat makna dari sebuah pelestarian sebuah kebudayaan menimbulkan sebuah kekuatan berbagai faktor yang terjadi di setiap daerah.
Harus kuat Betawi di Tangsel.
            Perlu adanya sebuah pelestarian tindak lanjut tingkat yang lebih tinggi untuk suku Betawi di Tangsel, sebagai masyarakat Betawi pinggir harus mampu menjadi garda terdepan dengan menjadikan sebuah suku Betawi dan Tangsel sebagai marwah kebangkitan potensi negara. Pertahanan Budaya menjadi dasar pertahanan negara.
R .Linton (1947) dalam bukunya "The cultural background of personality" mengatakan bahwa kebudayaan adalah konfigurasi dari tingkah laku yang dipelajari dan hasil-hasil dari tingkah laku, yang unsur-unsur pembentuknya didukung dan diteruskan oleh anggota dari masyarakat tertentu. Maka melestarikan berarti memelihara untuk waktu yang sangat lama. Upaya pelestarian berarti upaya memelihara warisan  budaya untuk waktu yang sangat lama. Oleh karena itu perlu dikembangkan upaya pelestarian sebagai upaya yang berkelanjutan (suistainable).
Perlu didasari bahwa manusia sebagai pribadi, masyarakat, bangsa dan negara hidup dalam suatu sosial budaya. Maka membutuhkan pewarisan dan pengambangan sosial budaya yang dilakkan melalui pendidikan. Agar pendidikan berjalan dengan baik. Maka membutuhkan filosofis dan ilmiah berbagai sifat normatif dan pedoman pelaksanaannya. Karena pendidikan harus secara fungsamental yang berazas filosofis yang menjamin tujuan untuk meningkatkan perkembangan sosial budaya, marbtabat bangsawa, kewibawaan dan kejayaan negara.
Pentingnya kebudayaan untuk mengembangkan suatu pendidikan dalam budaya nasional mengupayakan, melestarikan dan mengembangkan nilai budaya-budaya dan pranata sosial dalam menunjang proses pengembangan dan pembangunan nasional serta melestarikan nilai-nilai luruh budaya bangsa. Merencanakan kegairahan masyarakat untuk menumbuhkan kreaktivtas ke arah pembaharuan dalam usaha pendidikan yang tanpa kepribadian bangsa.
Tidak akan nada yang indah selain kata bersyukur untuk selalu menjaga dan mengembangkannya. Zaman teruslah bergerak, budaya Betawi sebagai budaya milik Indonesia tetap di lestarikan. 

Bangga Menjadi Betawi.
Betawi Maju, Indonesia Jaya.

Dirgahayu yang Ke 9 Kota Tangerang Selatan

2008 -2017